Tahun ini gerakan Flygskam menjadi trending di Swedia, Flygskam sendiri bisa diterjemahkan menjadi “malu terbang”, gerakan ini menganjurkan supaya kita semua mengurangi atau bahkan berhenti menggunakan pesawat terbang, mengganti moda transportasi kita dengan kereta api untuk mengurangi emisi karbon.

Pencetus awal dari gerakan ini adalah atlet Swedia, Bjorn Ferry, yang merasa bahwa selama karir olahraganya ia telah bepergian sejumlah 180 hari per tahun, 25.000 mil per tahun dengan pesawat dan juga 25,000 mil per tahun dengan mobil atau bis, yang menghasilkan 16ton emisi gas CO2 pertahun. Setelah ia menyadari hal ini, ia pun berkomitmen untuk benar-benar tidak menggunakan moda transportasi udara sama sekali.

[URIS id=5364]

Saat ini Gerakan Flygskam ternyata memberikan dampak terhadap kebiasaan traveling di Swedia. Beberapa selebriti lokal, termasuk penyanyi Opera Malena Ernman, yang juga merupakan ibu dari aktivis lingkungan remaja Greta Thunberg sudah mulai menghentikan penggunaan pesawat untuk bepergian. 37% dari masyarakat Swedia sekarang lebih memilih bepergian dengan menggunakan kereta api apabila memungkinkan, akibatnya jumlah penumpang domestik berkurang sebanyak 15% dibanding tahun lalu. Sementara itu, perusahaan kereta api Swedia SJ mencatat kenaikan jumlah penumpang sebanyak 12% di tahun 2019 ini. Para pekerja dan pebisnis sekarang lebih memilih untuk pergi dengan kereta api ketika melakukan business trip di London, Frankfurt, Geneva dll padahal waktu yang dibutuhkan jauh lebih banyak dibanding perjalanan dengan pesawat terbang.

[URIS id=5370]

Walaupun gerakan ini baru marak terjadi di wilayah Eropa, yang memang telah memiliki infrastruktur jaringan kereta api yang baik, hal ini tetap membawa kekhawatiran bagi industri pesawat terbang global, bahwa hal ini secara perlahan tapi pasti akan menyebar ke segala penjuru dunia.

Bagaimana dengan di Indonesia, Observer? Saya rasa masyarakat kita mungkin masih jauh dari gerakan ini.

Pertama karena kondisi geografis kita yang merupakan negara kepulauan dan pembangunan infrastruktur yang belum rampung seluruhnya membuat perjalanan lewat udara masih merupakan pilihan utama untuk bepergian, terutama apabila tujuannya ke pulau lain selain pulau tempat kita tinggal. Bayangkan, untuk ke Medan dari Jakarta via jalan darat menghabiskan waktu sekitar 3 hari 2 malam, perjalanan lewat laut juga menghabiskan waktu yang sama. Sementara dengan pesawat hanya menghabiskan waktu selama 2,5 jam. Bayangkan jika kepergian ini adalah untuk perjalanan bisnis, berapa banyak waktu yang terbuang.

[URIS id=5376]

Kedua, orang Indonesia masih butuh selfie di pesawat atau foto dari jendela pesawat, untuk diunggah ke akun media sosial setelah ditambah caption yang menarik. Yah, kurang lebih seperti itulah fenomena yang sekarang sedang terjadi.

 

Sources :
https://www.forbes.com/sites/davidnikel/2019/08/26/flygskam-no-sign-of-swedens-plane-shame-in-norway/#13de3992667a
https://www.bbc.com/worklife/article/20190718-flygskam
https://medium.com/@tabitha.whiting/flygskam-the-new-swedish-word-to-describe-the-guilt-of-air-travel-252b63398256

About Author

administrator

Property Observer adalah portal yang memberi informasi secara up to date dan informatif, baik dalam segi lifestyle , bisnis, dan segala jenis aspek kebutuhan. Namun dari semua itu ada satu aspek yang sangat di butuhkan oleh manusia yaitu property.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *