Penulis: Hanna Setyaningsih | Editor: Ratna MU Harahap

Jepang1

Di awal tahun 2023, beragam portal berita diwarnai dengan artikel dan berita terkait masa depan jepang. Negara maju di asia timur ini bahkan digadang-gadang akan menghadapi kepunahan dalam beberapa tahun kedepan. Berita-berita sejenis ini hadir bukan tanpa sebab. Belum lama ini, Jepang membeberkan fakta bahwa di tahun 2022 total kelahiran di jepang tidak lebih dari 800.000 jiwa. Angka ini memecahkan rekor nasional jepang, dan resmi menjadi angka kelahiran terkecil sepanjang sejarah jepang.

Sudah bertahun-tahun pemerintah jepang berupaya untuk menambah pertumbuhan penduduk. Upaya yang dilakukan pemerintah juga cukup beragam. Dari mulai mencoba menaikkan besaran tunjangan anak, hingga menambah waktu cuti melahirkan bagi kaum wanita maupun pria, dengan anggapan kebijakan ini dapat menciptakan rasa tenang dan mengurangi ketakutan masyarakat jika memiliki anak dapat merenggut pekerjaan yang mereka miliki.

Tak sampai disitu saja, pemerintah jepang juga menambah jumlah fasilitas day care, bahkan menanggung biaya pendidikan, kebutuhan pokok anak, bahkan ikut membantu menanggung biaya pengobatan dan perawatan yang berhubungan dengan proses hamil dan melahirkan.

Melimpahnya fasilitas yang disediakan pemerintah, rupanya tak serta merta berhasil menanggulangi kondisi krisis demografi yang dihadapi jepang. Faktanya, kebanyakan masyarakat jepang masih enggan untuk memiliki anak. Pada dasarnya memang memiliki anak artinya mengemban kewajiban yang besar pula. Para observers yang sudah memiliki anak mungkin akan setuju bahwa keputusan memiliki anak tidaklah semudah membalik telapak tangan. Ada banyak kebutuhan yang harus dipersiapkan.

Jepang2

Sama halnya berlaku bagi masyarakat di jepang, keputusan untuk tidak memiliki anak sebenarnya bukan tanpa sebab. Rintangan terbesar dari memiliki anak adalah keterbatasan waktu dan uang. Realitanya, beban dan waktu kerja di jepang cenderung memakan waktu yang lama. Belum lagi kultur kerja jepang yang cenderung kaku serta tingginya tekanan dan ekspektasi dari atasan kerap kali terjadi. Kondisi ini akan sangat menyulitkan para pekerja yang memiliki anak.

Faktor kedua, memiliki anak adalah hal yang mahal. Diluar dari fasilitas pendidikan yang gratis dan tunjangan yang diberikan pemerintah. Kita semua pasti tahu jika kebutuhan anak sangatlah banyak, mulai dari kebutuhan primer layaknya makan, tempat tinggal dan sekolah ditambah biaya pendidikan lanjut yang semakin hari rasanya semakin tinggi. Belum lagi soal lifestyle dan gaya hidup penunjang lain yang pastinya akan dibutuhkan seiring dengan pertumbuhan anak. Kebutuhan ini berbanding terbalik dengan persentase pendapatan masyarakat jepang yang tergolong kecil untuk memenuhi beragam kebutuhan hidupnya. Faktanya, pertumbuhan pendapatan masyarakat jepang merupakan yang paling kecil diantara negara G-7 lainnya.

Rasanya wajar saja bila banyak warga jepang yang akhirnya memilih untuk tidak memiliki anak. Tak sedikit yang beranggapan bahwa memiliki anak dinilai seperti suatu kemewahan. Hal ini didukung dengan hasil riset yang dilakukan oleh Dai-Ichi Life group. Yang mana ditemukan bahwa keluarga berpenghasilan tinggi cenderung memiliki banyak anak.

Jepang3

Kecilnya angka kelahiran ini tidak dapat dipandang sepele loh. Nyatanya ada konsekuensi besar dibalik fenomena yang satu ini. Khususnya dampak pada sektor ekonomi. Jika kondisi ini terus menerus berlanjut, angkatan kerja di jepang akan mencapai jumlah yang sedikit. Dan hal ini berimbas juga pada menurunnya jumlah pemasukan pajak negara jepang. Padahal, seperti yang kita ketahui jepang memiliki tanggungan yang cukup besar karena banyaknya masyarakat yang masuk di usia lanjut dan menjadi tanggungan pemerintah.

Nah, kondisi ini tidak hanya dialami oleh negara jepang saja loh observers. Negara-negara seperti china dan korea juga tengah menghadapi kondisi yang sama. Baru-baru ini angka kelahiran di kedua negara mengalami penurunan yang signifikan. Bahkan korea mengukir rekor dengan angka kelahiran terkecil di dunia. Sama halnya dengan jepang, jika dibiarkan, situasi ini akan membawa dampak besar bagi kedua negara tersebut. Karena itu jepang terus bertekad dan berupa untuk memperbaiki kondisi demografi ini. Fumio Kishida, perdana menteri jepang bertekad untuk mengubah situasi ini. Dan menyatakan dukungan untuk keluarga dan anak-anak merupakan prioritas utama pemerintah jepang dalam waktu-waktu ini.

Uniknya kondisi ini berbanding terbalik dengan kondisi di beberapa negara berkembang seperti indonesia, Pakistan serta Nigeria. Walaupun menunjukkan ada tren penurunan persentase kelahiran dari tahun ke tahun, jumlah kelahiran per 1000 jiwa tetap stabil di angka yang lumayan tinggi. Contohnya saja Pakistan, yang bisa mencetak 6 juta kelahiran setiap tahunnya. Hal serupa juga terjadi di Indonesia, yang mencapai 4,5 juta kelahiran dalam 1 tahun. Mungkin observers bertanya-tanya. Mengapa negara berkembang yang notabene masih punya banyak kekurangan dalam fasilitas dan tunjangan terhadap keluarga justru punya angka pertambahan penduduk yang tinggi?

Jepang4

Nyatanya waktu dan sumber uang bukanlah faktor satu-satunya untuk memiliki anak. Keputusan untuk mempunyai anak diduking juga dengan faktor lain seperti budaya, kepercayaan, tingkat pendidikan, konsep mengenai keluarga dan usia saat menikah. Jika berkaca pada faktor-faktor tersebut, jelas negara seperti Indonesia mendukung angka kelahiran anak. Contohnya saja, masih banyak masyarakat Indonesia yang percaya dengan ungkapan banyak anak, banyak rezeki. Selain itu, kurangnya eksposure pada pendidikan juga bisa melatarbelakangi tindakan masyarakat untuk memiliki anak. Ditambah lagi dengan pernikahan dini yang artinya menambah posibilitas untuk suatu keluarga memiliki lebih banyak anak.

Jika melihat kedua fenomena demografi tersebut, keduanya sama-sama rentan berimbas pada kondisi yang lebih buruk. Bagi negara yang mengalami pertambahan penduduk yang banyak, tanpa pendidikan yang baik akan menimbulkan masalah seperti overpopulasi dan tingkat kriminalitas yang tinggi. Sementara bagi negara dengan angka kelahiran yang kecil, akan menghadapi krisis angkatan kerja bahkan suatu hari bisa menghadapi kepunahan. Permasalahan demografi yang dihadapi masing-masing negara nampaknya tidak akan selesai hanya dengan pemberian tunjangan dan fasilitas. Pemerintah juga butuh memberikan lingkungan yang inklusif dan mendukung bagi para keluarga untuk memiliki anak. Disertai dengan kebijakan serta pemahaman yang lebih baik mengenai program keluarga berencana.

About Author

administrator

Property Observer adalah portal yang memberi informasi secara up to date dan informatif, baik dalam segi lifestyle , bisnis, dan segala jenis aspek kebutuhan. Namun dari semua itu ada satu aspek yang sangat di butuhkan oleh manusia yaitu property.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *