“Tak Kenal maka tak sayang” rasanya berlaku untuk Banda Aceh

Mesjid Baiturrahman Banda Aceh
Mesjid Baiturrahman Banda Aceh

Menghabiskan beberapa hari di penghujung liburan bulan Desember lalu, saya sekeluarga tidak merencanakan pergi lama dan jauh karena agak jenuh dengan antrian panjang dan desakan pengunjung di daerah-daerah wisata populer di Indonesia seperti Bali atau Jawa Tengah, ataupun di Negara-negara tetangga seperti Singapore. Akhirnya, kami sepakat menghabiskan sisa liburan di daerah sekitar Medan saja. Salah satu tujuan kami adalah Banda Aceh yang akhirnya kami laksanakan antara tanggal 25 – 27 Desember. Awalnya saya kurang “excited”, “Apa ya yang dilihat di Banda Aceh? Kayaknya gak pernah denger deh tentang tujuan wisata yang menarik di Banda Aceh” pertanyaan-pertanyaan itu berputar-putar di kepala saya tapi akhirnya berangkat juga menuju Banda Aceh.

Pesawat kami mendarat disambut dengan hujan yang tidak deras tapi juga lebih dari sekedar gerimis yang ternyata sudah seminggu tidak berhenti. Beruntung, hotel tempat kami menginap menyediakan fasilitas antar jemput jadi kami tidak perlu repot mencari transportasi menuju hotel apalagi dengan membawa dua anak kecil. Belum lama keluar dari Bandara, supir menunjuk kearah kiri mobil dimana terbentang rumput luas dengan satu tembok besar berwarna putih yang dihiasi replica biru sambil menjelaskan bahwa tempat tersebut adalah pemakaman massal korban Tsunami Aceh 26 Desember 2004 di hari itu masyarakat Aceh dan sekitarnya mengalami “the unthinkable”. Saya mencoba memaksa memori saya untuk kembali ke sepuluh tahun lalu tapi sayangnya semua terasa samar. Saya berada ribuan kilometer di Amerika Serikat pada saat bencana tersebut terjadi dan Saya baru kembali ke Tanah Air pada pertengahan 2005. Saya hanya menatap pemakaman massal tersebut. Nama pemakaman Massal ini adalah Pemakaman Massal Siron di Aceh Besar dan telah menjadi tempat peristirahatan terakhir dari sekitar 46,000 jiwa korban bencana Tsunami 2004.

Sekitar 20 menit dari Bandara, kami tiba di Hotel. Banda Aceh lebih kecil daripada Medan. Tempat-tempat di dalam kota bisa ditempuh dalam waktu kurang dari 30 menit. Berbekal informasi umum mengenai tempat wisata dan tempat kuliner di Banda Aceh yang sempat kami dapatkan dari beberapa teman, maka setiba di hotel, kami menyusun dulu daftar kunjungan kami selama 3 hari dan 2 malam berada di Banda Aceh dengan dibantu “Concierge Staff” dari Hotel. Berhubung kami akan menghabiskan waktu berpindah-pindah lokasi wisata hingga ke pinggiran Banda Aceh, maka kami memilih menggunakan taksi harian. Tarif umum untuk taksi harian tersebut adalah Rp. 150,000 / jam dengan minimal sewa 2 jam atau 12 jam seharga Rp. 800,000. Jadilah kami mengatur penyewaan taksi untuk 2 setengah hari selama kami berada di Banda Aceh.

Selepas “check-in”, Supir Taksi sudah menunggu untuk membawa kami makan siang di Restoran Hasan 1. Berbagai makanan dihidang di meja ala restoran Padang. Ada udang goreng ukuran jumbo, ayam tangkap khas Aceh, Pli’u, Kuah Kambing, Daging Bakar dan Tumis Ikan Kayu. Anak-anak bahagia dengan Ayam Tangkap karena rasanya yang gurih dengan bumbu yang meresap. Saya tergiur melihat udang goreng jumbo berwarna oranye cerah yang ternyata sangat segar sehingga dagingnya masih terasa manis. Saya juga mencoba ayam tangkap dan Kuwah Pli’Uyang berbahan dasar ampas dari sisa perasan minyak kelapa tua. Bahan utama makanan ini adalah bungkil kelapa yang diparut yang bertujuan untuk membuang minyaknya. Setelah itu bahan makanan ini ditambahkan dengan daun dan buah melinjo serta “chu” (sejenis siput yang hidup di sungai). Rasanya? Jangan ditanya deh. Saya yang tidak suka sayuran saja, sempet nambah. Bumbunya sangat terasa tetapi tidak membuat aromanya menjadi terlalu kuat. Ditengah-tengah makan, saya iseng mengambil wadah mungil seperti wadah sambal dengan potongan –potongan kecil yang saya kira tadinya semacam sambal. Ternyata, itu adalah tumis ikan kayu yang menjadi juara makan siang kali ini. Ikan kayu dipotong kecil-kecil sehinga sudah terlepas dari duri-durinya. Rasa ikan manis tanpa bau dengan daging yang tebal dan kenyal. Bumbunya tidak terlalu pedas tetapi enak dan cukup berbeda dengan makanan Medan. Saya sampai tambah ikan ini tiga kali.

Makanan Khas Aceh
                                                                                                               Kuah Pliek’u Khas Aceh
Kuliner Enak
                                                                                                             Ayam Tangkap Khas Aceh

Setelah makan siang, hujan belum juga berhenti. Jadi kami mencoba semua alternative tempat wisata yang berada di dalam gedung. Kami menuju tujuan yang masih terkait dengan memorabilia Tsunami 2004, yaitu Kapal Apung PLTD PLN yang terdorong dari laut lepas hingga 7 KM ditengah kota. Berat kapal in mencapai 2,600 ton dan karena beratnya yang luar biasa, maka setelah bencana Tsunami, kapal ini dibiarkan ditempatnya dan dijadikan situs wisata. Baru saja kami mengambil 2 foto, terdengar pengumuman bahwa waktu Sholat Ashar akan tiba sehingga pengunjung harus meninggalkan situs hingga Sholat selesai selama kurang lebih 30 – 45 menit. Kami tidak menyadari hal ini sebelumnya dan sempat bingung karena waktu semakin beranjak sore dan hari masih hujan. Untungnya, kami diperbolehkan duduk dikantin sambil menunggu waktu Sholat usai.

Destinasi Liburan Aceh
                                                                             Kapal Apung PLTD-PLN saksi Tsunami Aceh Tahun 2004

Kapal ini hanya untuk dilihat dari luar. Baru saja kami memasuki puing-puing rumah disekitar Kapal Apung itu, saya mulai membayangkan dahsyatnya bencana tersebut. Melihat reruntuhan rumah tersebut, tidak ada tempat berlindung yang bisa melindungi raga yang ringkih diterpa runtuhan batu dan benda keras lainnya yang terjadi dalam hitungan menit. Saya merinding.

Pesona Banda Aceh
                                                        Peralatan Pertanian Khas Aceh

Selepas itu, karena hujan belum juga reda, kami batal mengelilingi Mesjid Baiturrahman dengan berjalan kaki dan akhirnya kami sedikit berkeliling kota Banda Aceh dengan mobil. Bersyukur juga kami memilih menyewa mobil dengan kondisi hujan seperti ini. Setelah sedikit membersihkan diri, malam itu kami makan malam di daerah Peunayong yang ramai. Menu malam itu adalah Mie Aceh Razali. Sayang kami kehabisan kepiting dan udang. Tapi, bahkan dengan daging sapi pun, mie nya enak sekali. Mie kuah dan Mie kering sama enaknya. Sayang tempatnya kecil dan agak kotor. Mungkin karena hujan yang tidak kunjung berhenti dalam 7 hari terakhir.

Perjalanan hari kedua kami isi dengan Supir Taksi baru yang jauh lebih bersemangat menunjukan Kota Banda Aceh ditambah lagi hari ini, udara sangat cerah. Kami memulai perjalanan dengan mengeksplorasi Museum Aceh. Di bagian luar Museum, kita bisa melihat alat-alat tradisional seperti alat penumbuk padi, lumbung padi, dan gerobak pedati yang ukurannya lebih besar dibandingkan alat sejenis di Pulau Jawa.

Selain itu, di halaman luar terletak lonceng Cakra Donya yang merupakkan hadiah dari Kaisar Cina dari Dinasti Ming kepada Sultan Pasai pada Abad Ke-15, yang dihadiahkan saat perjalanan muhibah Laksamana Muhammad Cheng Ho.

Atraksi utama di Museum ini adalah replica Rumoh Atjeh yang merupakan bagian dari Pameran Kolonial Tahun 1914 yang kemudian dipindahkan ke Aceh dan dijadikan salah satu koleksi penting di Museum Aceh. Di dalam rumah Aceh ini terdapat beragam koleksi tradisional Aceh seperti ruang kamar jaman dahulu, pelaminan, alat masak, senjata tradisional dan koleksi batu-batuan. Terlihat kesamaan antara budaya Aceh dengan budaya “Mandhailing” pada pelaminan dan kamar tradisional terutama dikarenakan dominasi warna merah, hitam, putih, kuning dan hijau pada kedua ruangan tersebut. Di tempat yang sama, pengunjung bisa menuju ruang eksibisi yang menjelaskan sejarah Aceh termasuk kerajaan Aceh Darussalam dan Kerajaan Samudra Pasai. Untuk bisa menikmati dan menimba ilmu mengenai sejarah Aceh, pengunjung cukup membayar sebesar Rp.1,000 / orang saja.

Jam sudah menunjukan pukul 11:30 ketika kami beranjak dari Museum Aceh dan tujuan kami selanjutnya adalah Museum Tjut Nyak Dien, sayangnya, Museum sudah tutup ketika kami tiba disana.

Banda Aceh
                                                                                               Replika dan Interior Rumoh Aceh

 

Pengendara Taksi kami pun memberitahu kami bahwa selama waktu Sholat Jum’at, tidak diperbolahkan ada kegiatan di tempat umum dan kegiatan Sholat Jumat biasanya baru berakhir sekitar pukul 2 siang. Akhirnya kami memutuskan membeli oleh-oleh makanan Khas Aceh yang berada tidak jauh dari Museum Tjut Nyak Dien tersebut dan melanjutkan perjalanan menuju Gunung Grute. Diperlukan waktu sekitar 1 jam untuk tiba di puncak Gunung Grute dari Museum Tjut Nyak Dien. Pemandangan selama perjalanan menuju Gunung Grute luar biasa indah. Disebelah kanan jalan adalah pantai Lhok Nga yang hingga dari puncak gunung pun, deburan ombak yang menutup pasir atau menabrak karang pun masih terlihat indah dan bersih.

View from Gunung Grute:

Gunung Grute Aceh

Kami menyempatkan minum kopi Gayo yang terkenal di puncak Gunung Grute dan kemudian mulai berjalan turun agar anak-anak masih sempat bermain di pantai. Sekitar 45 menit kami tiba di bagian pantai yang lebih terbuka, berpasir dan ada beberapa pondok untuk beristirahat. Air lautnya masih bersih, tidak banyak sampah dan tidak banyak orang yang datang. Selama saya menunggu anak-anak berenang, beberapa kali kambing milik penduduk menghampiri. Sangat sulit mengajak anak-anak berhenti berenang sore itu. Kami menghabiskan sekitar 2 jam di Pantai Lhok Nga tersebut hingga anak-anak benar-benar kecapaian. Pantai indah ini belum dilengkapi dengan fasilitas yang lengkap. Tidak ada kamar mandi yang memadai dan tempat berganti pakaian sehingga setelah berganti pakaian seadanya kami langsung menuju hotel untuk mandi.

Pantai Lhok Nga:

Pantai Lhoknga Banda Aceh
                                                                     Pantai Lhoknga Banda Aceh

Perjalanan kami harus berakhir keesokan harinya. Pesawat kami berangkat pukul 13:00 dari Bandara Sultan Iskandar Muda. Jadi, pagi itu kami memutuskan untuk berjalan sedikit sebelum menuju Bandara, apalagi karena cuaca cukup cerah. Tujuan kami adalah Masjid Raya Baiturrahman dan Meseum Tsunami. Masjid Raya Baiturrahman memiliki halaman yang sangat luas, dengan pilar-pilar putih yang megah. Di bagian dalam Mesjid, tergantung lampu-lampu kuno yang membuat suasana adem di dalam masjid. Lantai masjid terbuat dari marmer dan seluruh ruangan masjid ditopang pilar putih yang luar biasa banyak jumlahnya. Masyarakat Banda Aceh menggunakan masjid ini untuk bermacam aktivitas termasuk upacara pernikahan seperti yang terjadi di pagi hari itu.

Masjid Baiturahman:

Mesjid Baiturrahman Banda Aceh

Setelah puas berkeliling Masjid Baiturrahman, kami pun beranjak ke Museum Tsunami yang buka pada pukul 09:00. Pengunjung Museum cukup ramai pagi itu karena dua hari sebelumnya, Museum tutup. Pengunjung tidak diperbolehkan membawa tas ke dalam museum kecuali Handphone, Dompet dan Kamera. Kami cukup terkejut karena Museum ini gratis dan untuk penitipan tas pengunjung dapat menyumbang seikhlasnya.

Tsunami Aceh
                                                                                                            Museum Tsunami Aceh

Menuju ruang utama museum, pengunjung harus melewati “Lorong Tsunami”. Lorong yang gelap dengan cahaya yang sangat remang-remang dan terdengar alunan ayat-ayat suci Al-Quran yang cukup membuat saya pribadi tiba-tiba berfikir, betapa lemahnya manusia dan Tuhan adalah Maha Kuasa. Ruangan pertama yang kita lalui setelah lorong Tsunami tersebut adalah ruang Memorial dimana di dalam ruangan tersebut terdapat sejumlah layar yang ditempatkan pada tiang batu yang memutarkan foto-foto pada saat terjadi Tsunami. Perasaan haru, lemah dan takjub akan kuasa-Nya tiba-tiba menguasai saya. Saya sudah mulai kerepotan menjaga supaya anak-anak tidak melihat muka saya yang sudah cukup sulit tersenyum. Sepuluh tahun lalu ketika Tsunami terjadi di Aceh dan merenggut 250,000 jiwa di Aceh, saya sedang berada ribuan kilometer di Amerika Serikat untuk bekerja. Saya baru pulang ke Tanah Air di pertengahan tahun 2005. Pengetahuan saya tentang Tsunami Aceh hanya dari Media lokal yang saat itu juga lebih banyak menyorot kondisi Thailand karena banyak warga Amerika yang terkena bencana tersebut di Thailand. Saya tidak pernah menyangka bahwa yang terjadi di Aceh sangat mengerikan. Foto-foto tersebut memperlihatkan bagaimana orang tua berusaha menyelamatkan anak-anak mereka yang masih kecil, dan orang dewasa berusaha menyelamatkan orang yang sudah berumur lanjut.

Museum Tsunami Aceh
                                                                                                          Museum Tsunami Aceh

Ruangan selanjutnya adalah Ruang Doa. Di ruangan ini tertulis nama semua korban bencana Tsunami dan pengunjung dipersilahkan berdoa untuk para korban ini. Di ruangan ketiga, air mata saya mulai tergenang. Foto-foto ukuran besar terpajang disini memperlihatkan persatuan manusia dari berbagai bangsa, berbagai warna dan berbagai Bahasa mencoba saling tolong menolong. Dari mulai foto “Jackie Chan” sang bintang film terkenal, tentara Spanyol hingga Utusan Khusus PBB Presiden Bill Clinton yang sedang bersenda gurau dengan anak-anak di penampungan. Foto selanjutnya benar-benar menguji pertahanan saya. Seorang Ibu sedang menangis histeris menggendong jenazah anaknya yang berumur kurang lebih 9-10 bulan. Buru-buru saya menggendong anak saya yang paling kecil yang tentu disambut bahagia karena dapat bonus gendong di tengah-tengah ruangan yang cukup panas.

Museum Tjut Nyak Dien
                                                                                                   Potret Tsunami Aceh tahun 2004

Foto demi foto, video, replica, benda kenangan dari bencana Tsunami semakin memperjelas apa yang terjadi tepat 10 tahun silam di tempat yang sama. Terjadi begitu cepat dan tidak ada seorang pun yang siap akan bencana tersebut. Doa kami menyertai para korban dan keluarga korban yang selamat.

Sepotong percakapan saya dan pak supir

“Saya mencari istri saya sampai dua bulan, Pak. Tidak ketemu. Saya cari sampai ke Medan karena katanya, RS Adam Malik menampung juga para korban. Mana anak-anak saya masih kecil-kecil. Dua bulan itu, saya bawa anak-anak kemana-mana cari Ibunya, Pak. Akhirnya pada titik itu, saya pasrah pada Allah SWT. Ini sudah rezeki dan jalan saya kan Pak?. Kalau tidak begitu, bisa gak tau lah, Pak. Bisa gila saya kan, Pak?” – Pak Epi, Supir Taksi di Banda Aceh.

Akhirnya tiba waktunya untuk kami menuju Bandara. Sayang sekali waktu kami di Banda Aceh terlalu singkat. Padahal masih banyak tempat yang belum sempat kami kunjungi seperti “snorkeling” di pulau Sabang, Museum Tjut Nyak Dien, Pasar Aceh dan lain-lain. Ingat bahwa setiap kali jam Sholat, segala kegiatan harus dihentikan, maka selanjutnya kami akan membuat rencana yang lebih baik saat datang ke Aceh.

Sampai bertemu di perjalanan selanjutnya!! Buat Observer yang tertarik buka usaha wisata yang tidak biasa, Banda Aceh bisa jadi pilihan, tidak banyak yang menawarkan paket wisata ke Banda Aceh, yang dari pengalaman saya sebenarnya eksotis dengan kuliner yang tidak pernah ditemukan di daerah lain.

About Author

administrator

Property Observer adalah portal yang memberi informasi secara up to date dan informatif, baik dalam segi lifestyle , bisnis, dan segala jenis aspek kebutuhan. Namun dari semua itu ada satu aspek yang sangat di butuhkan oleh manusia yaitu property.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *