The Observer

Usaha Jastip Lancar Jaya Jangan Lupa Pajak

Beberapa waktu lalu, Property Observer sudah membahas artikel mengenai “The Right Place” untuk pengusaha Jastip (https://theobserver.id/hai-para-pengusaha-jastip-this-is-the-right-place-for-you/).  Seperti sudah dibahas di artikel tersebut, usaha Jastip memang sedang menjamur karena keuntungan yang dihasilkan cukup menggiurkan.  Memulai usaha Jastip pun relatif simple dan modal dapat disesuaikan dengan barang yang akan ditawarkan.  Apalagi saat ini banyak orang semakin merasakan keuntungan menggunakan jastip, seperti saya contohnya.  Saya sama sekali tidak keberatan membayar fee jasa apalagi sekarang beberapa teman saya sudah memulai usaha jastip tersebut.

Tapi, jangan happy dulu, Observer.  Usaha yang terlihat simple ini, penghasilan yang dihasilkan juga merupakan objek pajak lho! Uhuk! Nah mumpung sudah memasuki  bulan Maret yang juga merupakan batas pengumpulan SPT Tahunan bagi subjek pajak orang pribadi, yuk kita intip pajak-pajak apa saja sih yang harus dibayarkan apabila kita menerima penghasilan dari Jasa Titip?

Sebelum membahas pajaknya, kita pahami dulu bahwa Jastip adalah bisnis yang mengandalkan biaya tambahan dari setiap barang yang dijual kepada konsumennya. Berbagai macam produk ditawarkan kepada konsumennya, mulai dari produk dari luar negeri sampai dalam negeri. Dulu, bisnis jasa titip ini biasanya identik dengan barang-barang impor dari luar negeri, seperti sepatu, tas, kosmetik, baju. Tapi sekarang  bisnis jastip ini tak selalu menjual barang-barang impor, banyak  pelaku bisnis ini yang membuka jasa titip dari dalam negeri.

Konsumennya kebanyakan mereka yang tinggal di daerah yang agak jauh dari kota besar, sehingga akses untuk membeli barang-barang agak sulit mereka dapatkan. Karena itu, ada dua jenis pajak yang dibayar tergantung dari mana barang yang dititip tersebut dibawa.

  1. Jastip Luar Negeri

Untuk Jastip yang berasal dari luar negeri, pada dasarnya Observer harus membayar bea masuk dan pajak Penghasilan Pasal 22.  Secara singkat, Bea Masuk dihitung dengan rumus sebagai berikut:

Nilai Pabean = CIF X NDPM (Kurs)

Bea Masuk = 10% Nilai Pabean

PPN = 10% X(Nilai Pabean + BM)

PPh 22: 7.5% X (Nilai pabean + BM)

Jadi, apabila Observer menjual dua tas wanita seharga USD250 dengan kurs yang berlaku Rp. 13,500, maka bea dan pajak yang harus dibayarkan adalah:

Cost       = USD500 – USD50 (pembebasan perorangan sebesar USD50)

                = USD450

Nilai Pabean       = USD450 X 13,500 = Rp. 3,375,000

Be Masuk            = 10% X 3,375,000 = 337,500

PPN                       = 10% X (3,375,000+337 500) =  Rp. 371,250

PPh 22                   = 7,5% X (3,375,000+337,500) = Rp. 278,438

Total yang harus dibayar = BM + PPn + PPh 22 = Rp. 987,188

PPh 22 yang dibayarkan ini dapat Observer kurangi pada saat pengisian SPT Tahunan.

Catatan: dalam hal Jastip Insurance dan Freight bisa diasumsikan nihil

Kini Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kementrian Keuangan tengah meluncurkan aplikasi Electronic Customs Declaration (ECD), untuk melakukan deklarasi barang dari luar negeri dan memudahkan pelaku usaha jasa titip dalam memenuhi kewajiban pajak.

  1. Jastip Dalam Negeri

Sementara untuk Jastip dalam negeri, penghasilan dari Jasa Titip ini dapat diperhitungkan sebagai  penghasilan komisi atau jasa perantara yang dapat dilaporkan menggunakan norma atau dengan pembukuan.

Nah, Observer sudah menyiapkan infrasturktur berupa rumah atau tempat penyimpanan di Asatti untuk mendukung usaha Jastip Observer, kini Observer juga sudah mengetahui adanya kewajiban pajak yang datang dengan penghasilan Jastip Observer.  Observer bisa melakukan perencanaan yang lebih baik agar Observer tidak salah memberikan harga untuk Jastip Observer.

Exit mobile version