Penulis: Firsa Amanda | Editor: Ratna MU Harahap

Tiba saatnya musim kelulusan, di mana para mahasiswa atau pelajar memakai topi wisuda, mengenakan toga, dan merayakannya dengan tradisi melempar topi. Mereka juga mendengarkan pidato kelulusan dari orang-orang terpandang yang bertujuan memebrikan motivasi bagi para wisudawan untuk mengejar impian selanjutnya. Namun, di balik keseruan dan kebanggaan tersebut, tersembunyi asal-usul yang menarik dari kenapa kelulusan diidentikkan dengan tradisi-tradisi semacam itu. Bagaimana asal-usul tradisi wisuda? Yuk kita bahas!

1. Mengenakan Jubah

Pada awalnya, universitas-universitas di Eropa tidak didirikan untuk menerima siswa remaja yang baru lulus dari sekolah menengah seperti yang kita kenal saat ini. Sebaliknya, mereka didirikan sebagai tempat pelatihan bagi calon rohaniwan, seperti pendeta dan biarawan. Pakaian yang dikenakan oleh mahasiswa pada zaman tersebut mirip dengan pakaian yang masih dikenakan oleh para pendeta, biarawan, dan anggota ordo keagamaan lainnya pada masa sekarang. Salah satu contohnya adalah jubah atau gaun, yang pada saat itu membantu menjaga kepala mereka yang dicukur tetap hangat.

Meskipun zaman telah berubah dan universitas tidak lagi secara eksklusif menjadi tempat pelatihan bagi rohaniwan, pakaian tradisional ini telah bertahan dan menjadi bagian dari seragam akademis yang dikenakan oleh mahasiswa dan staf universitas selama berabad-abad. Di beberapa universitas, seperti Oxford, seragam akademis ini masih dipakai dalam acara-acara resmi seperti ujian dan kebaktian di gereja.

Sebagai tambahan, di beberapa negara seperti Portugal, beberapa mahasiswa masih mengenakan jubah ke kelas sebagai bagian dari tradisi lokal mereka. Ini mungkin telah menjadi salah satu inspirasi bagi seragam yang digambarkan dalam seri buku Harry Potter.

2. Topi kotak

Topi kota atau yang dikenal dengan nama mortarboard dalam konteks wisuda, memiliki sejarah yang panjang dan menarik. Awalnya, topi ini merupakan bagian dari tradisi universitas pada zaman pertengahan di Eropa. Pada abad ke-11, ketika seseorang baru saja diordani sebagai pendeta, mereka akan menerima tutup kepala bulat yang disebut calotte. Seiring berjalannya waktu dan universitas berkembang untuk mencakup berbagai bidang studi baru di luar teologi, topi ini tetap menjadi bagian dari seragam akademis.

Topi itu mengalami evolusi dari bentuk calotte bulat ke beret bundar dan berkerut yang disebut pileus rotundus. Namun, pada akhirnya, topi tersebut mengalami transformasi menjadi topi berbentuk kotak yang kita kenal sekarang, yang dalam bahasa Latin disebut pileus quadratus. Ada beberapa teori tentang mengapa topi ini berubah bentuk menjadi kotak. Salah satunya adalah bahwa bentuk kotak tersebut dapat menghemat waktu dan kain dalam pembuatannya. Selain itu, bentuk kotak yang sederhana dan simetris juga memberikan tampilan yang formal dan teratur.

3.Pemindahan tassel

Pemindahan tassel atau jumbai yang tergantung dari ujung topi wisuda, adalah salah satu tradisi yang paling diidentifikasi dengan momen kelulusan. Namun, tradisi ini sebenarnya merupakan fenomena yang cukup modern, berbeda dengan asal-usul tassel itu sendiri yang telah ada selama berabad-abad. Tassel telah digunakan dalam berbagai budaya dan tradisi sebagai simbol keberuntungan, talisman, atau penanda peringkat. Di beberapa budaya, warna tassel bahkan dapat menunjukkan status sosial atau pencapaian seseorang. Di lingkungan universitas, penggunaan tassel dengan warna yang berbeda untuk menandai status sosial atau akademik juga pernah terjadi. Misalnya, mahasiswa di Oxford pada masa lalu mungkin mengenakan tassel dengan warna yang berbeda untuk menunjukkan status mereka dalam hierarki universitas.

4.Melempar Topi

Meskipun tidak ada catatan pasti tentang kapan tradisi melempar topi pertama kali dimulai, contoh tertulis yang paling terkenal berasal dari tahun 1912. Pada tahun itu, kelas lulusan dari Akademi Angkatan Laut Amerika Serikat di Annapolis menciptakan momen ikonik ini. Pada masa itu, para lulusan Akademi Angkatan Laut AS sedang menunggu dengan cemas untuk menerima komisi mereka sebagai perwira di Angkatan Laut. Sebagai bagian dari seremoni kelulusan, mereka akan menerima topi perwira, menandai transisi mereka dari mahasiswa kadet menjadi anggota resmi dari Angkatan Laut.

Sebelumnya, selama pelatihan mereka di Akademi Angkatan Laut, para kadet menggunakan topi kadet mereka. Namun, setelah lulus, mereka tidak lagi memerlukan topi tersebut. Pada tahun 1912, karena Angkatan Laut Amerika Serikat membutuhkan perwira muda dengan cepat, aturan yang mengharuskan lulusan untuk melayani dua tahun di armada sebelum menerima komisi mereka sedang direvisi. Ketika saatnya tiba bagi para lulusan untuk mengenakan topi perwira baru mereka sebagai bagian dari seremoni kelulusan, mereka secara spontan memutuskan untuk melemparkan topi kadet mereka ke udara sebagai tanda perayaan dan pembebasan dari masa pelatihan yang melelahkan. Momen ini, yang didasarkan pada kegembiraan dan kebebasan, kemudian menjadi tradisi yang diulang-ulang dalam upacara wisuda di seluruh dunia.

5.Memainkan “Pomp and Circumstance”

Di Inggris, lagu ini menjadi sangat terkenal setelah dimainkan pada penobatan Raja Edward VII pada tahun 1902. Lagu tersebut, yang dinamai dari baris dalam drama Shakespeare, Othello, menjadi simbol kebanggaan patriotik bagi rakyat Inggris. Liriknya menggambarkan pujian atas “Tanah Harapan dan Kemuliaan” (Land of Hope and Glory).

Tradisi menggunakan lagu “Pomp and Circumstance” dalam upacara kelulusan di Amerika Serikat dimulai pada tahun 1905. Pada tahun itu, Edward Elgar diberi gelar doktor kehormatan oleh Universitas Yale. Saat Elgar dan para lulusan keluar dari upacara, musisi lokal memainkan lagu “Pomp and Circumstance March No. 1”. Sejak saat itu, lagu ini menjadi semacam himne untuk kelulusan di AS.

Kepopuleran lagu ini terus berkembang, dan pada tahun 1920-an, lagu “Pomp and Circumstance” sudah menjadi tema kelulusan yang umum di banyak sekolah di Amerika Serikat.

6.Mendapatkan Ijazah

Sebelum masa modernisasi administrasi akademis, terutama pada zaman pertengahan dan awal zaman modern, proses pemberian diploma atau sertifikat gelar tidaklah sama seperti sekarang. Pada masa itu, mahasiswa biasanya bertanggung jawab untuk membuat diploma mereka sendiri setelah menyelesaikan studi mereka di universitas. Dokumen diploma tersebut berfungsi sebagai bukti formal bahwa seseorang telah menerima pendidikan atau pelatihan di bidang tertentu, mirip dengan paspor yang menunjukkan identitas seseorang.

Proses pembuatan diploma pada masa itu tentu lebih rumit daripada sekarang. Jika seorang mahasiswa ingin memiliki sertifikat gelarnya, dia harus menyewa seorang kaligrafer yang terampil untuk membuat dokumen tersebut dengan tulisan tangan yang indah dan seringkali dihias. Setelah itu, mahasiswa tersebut perlu membawa dokumen yang sudah dibuat kepada presiden universitas mereka untuk ditandatangani sebagai tanda pengesahan resmi.

7.Tradisi Pidato

About Author

The Observer magazine

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *