Penulis: Dian Prima | Editor: Ratna MU Harahap

 

Marah1

Sambil sesekali menyeruput es kopi, saya menyimak kekesalan seorang teman yang dikecewakan oleh sopir pribadinya. Saking asyiknya, rasa es kopi itu semakin tawar karena yang tertinggal bongkahan es batu.

“Di, kamu pernah marah, kan?” tanyanya.

“Pernah, dong. Masa jadi orang nggak pernah marah.”

“Jadi, kamu paham banget, ya, rasa jengkel ini seperti apa,” lanjutnya.

Di situ saya hanya mengangguk.

Kemudian ia bertanya kapan terakhir kali saya marah. Saya tidak bisa menjawab pertanyaan itu.  “Serius??? Kamu lupa kapan terakhir marah? How come?” cecarnya.  Saya hanya bisa mengangkat bahu sambil kembali ke es kopi rasa tawar.  Lalu saya mengacungkan tangan memanggil pelayan dan pesan segelas air hangat. Sepertinya di sore hari yang mendung itu saya butuh menetralkan energi.

Kata Ibu, Marah Itu Tidak Baik

Belajar2

Tumbuh dan besar dengan didikan Jawa tulen, mengajarkan bahwa kalem dan tenang itu lebih baik dibanding marah.  Itulah yang dikenal oleh si Dian kecil beberapa tahun silam. Dan alasan yang diutarakan selalu sama, sering marah bikin lekas tua.

Alangkah mengerikannya kalau setiap kali marah, kerutan di area wajah akan bertambah satu garis. Sebagai orang yang kuat di visual, imajinasi saya membayangkan anak kecil yang wajahnya dihinggapi kerutan dan warna rambut mulai memutih.  Oh, tidak!

Sejak saat itu, setiap kali mau marah, saya harus meredam emosi. Begitu terus dan terus dan terus. Selama itu pula saya tidak diberitahu bagaimana cara “mengganti” amarah itu dan bagaimana cara membuang toksin dari amarah tersebut. Di tahun itu, tabu untuk seorang anak bertanya “kenapa” ke orang tua.

Alhasil, saya selalu menelan rasa jengkel, menahan amarah, dan mengamuflase dengan wajah ceria penuh kepalsuan.

Belajar3

Sebagai anak tunggal, seluruh anggota isi rumah fokusnya hanya ke Dian kecil. Sang bibi yang jago masak sampai rela memasak beberapa jenis makanan yang berbeda untuk dihidangkan di atas meja makan.

Pilihan makan si Dian kecil memang berbeda dengan anak lain. Ini akibat sistem imunitas tubuh yang sangat rendah alias alergi. Apabila ada yang dilanggar, maka akan muncul gatal-gatal di seluruh tubuh.

Tapi ada kalanya rasa gatal muncul tiba-tiba, tanpa ada pemicu dari makanan. Dan kabarnya, alergi bisa disebabkan oleh stres. Nah, masa anak kecil bisa stres?

Mari analogikan tubuh kita dengan perangkat komputer. Lambang tempat sampah dengan tulisan recycle bin di bawahnya, yang terletak di sudut layar monitor komputer, adalah wadah untuk membuang dokumen yang tak lagi dibutuhkan. Tubuh kita juga punya recycle bin, lho. Tumpukan memori – baik negatif maupun positif – yang sudah tak ada manfaatnya, sebaiknya disingkirkan.

Nah! Sayangnya, Dian kecil belum paham bagaimana membuang “sampah” tersebut. Padahal, Dian kecil sudah mengalami stres. Salah satu penyebabnya, adanya kekhawatiran tidak bisa diterima oleh teman-teman, karena pilihan makanan yang berbeda. Sesederhana itu? Ya, sesederhana itu.   Jadi, makanan bukan pemicu satu-satunya timbulnya rasa gatal

Marah Juga Bisa Positif

Belajar4

Sesuatu yang tak berkenan hadir di hati dan pikiran, tentu bisa memicu stres. Ditambah pula dengan indoktrinasi tentang marah yang bikin cepat tua.

Seiring waktu, Dian kecil beranjak dewasa. Sepanjang perjalanan usia, banyak pelajaran yang ditelan dan dicerna.  Hingga tiba saatnya saya menemukan fakta, bahwa meluapkan emosi melalui marah itu tidak seburuk yang selama ini terpatri di otak saya. Malah menahan amarah itu bikin saya sakit perut, asam lambung naik, tekanan darah turun drastis, dan masih banyak lagi protes dari tubuh.

Akhirnya saya menerima, bahwa marah itu tidak perlu diganti dengan tangis. Marah itu tidak selamanya negatif.

Ketika saya sudah mengenal dan memahami marah, apakah lantas saya jadi anak yang pemarah? Ternyata tidak. Saya malah banyak mempelajari tubuh saya saat bereaksi dengan amarah.

Bertanya Sebelum Marah

Belajar5

Saat beranjak dewasa alias mulai berumur, akhirnya saya memutuskan untuk tidak mudah terpancing amarah. Bukan karena takut tua seperti yang selalu diucapkan oleh ibunda. Tapi, melampiaskan amarah itu melelahkan. Bukan karena meninggikan suara, tapi juga gelombang energi negatif yang dipancarkan oleh tubuh akan merusak suasana hati. Belum lagi gatal-gatal yang hadir tak diundang.

Pernah suatu hari saya terpaksa marah ke sopir yang sudah membantu mobilitas seluruh keluarga selama 10 tahun.

Beberapa menit setelah mencurahkan emosi, saya mencoba merenung sambil berbicara dengan diri saya. Saya hujani diri saya dengan pertanyaan-pertanyaan.

Kenapa, ya, saya harus marah?

Apakah setelah marah saya jadi lebih bahagia?

Apakah yang barusan terjadi sungguh sangat memengaruhi kehidupan saya?

Apakah alasan yang tepat, sehingga saya bisa meninggikan oktaf suara?

Seberapa penting kejadian barusan, sehingga saya bisa semarah itu?

Dari semua pertanyaan tersebut, inti jawabannya adalah “TIDAK”.

Sejak saat itu, saya berpikir ulang ketika harus melampiaskan amarah. Kalau emosi tersebut memang harus disalurkan, saya tetap marah, kok. Tapi luapan emosinya tidak meledak seperti yang sudah-sudah. Saat detak jantung sudah kembali normal, saya duduk diam dan mulai mengambil selembar kertas.

Saya tuangkan semua kekesalan tersebut ke dalam tulisan. Ada beberapa baris yang masih menyiratkan kemarahan, karena tulisannya sulit dibaca. Setelah selesai, saya baca ulang. Renungkan kembali. Lalu, saya robek kertas tersebut. Dan buang.

Begitu selalu setiap kali marah, saya selalu melakukan langkah ini. Di samping emosi lebih stabil, pikiran dan tubuh saya juga lebih mudah menerima. Menerima tanpa banyak tanya. Kalau kata orang jawa, nrimo ing legowo, alias menerima dengan lapang dada.

About Author

administrator

Property Observer adalah portal yang memberi informasi secara up to date dan informatif, baik dalam segi lifestyle , bisnis, dan segala jenis aspek kebutuhan. Namun dari semua itu ada satu aspek yang sangat di butuhkan oleh manusia yaitu property.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *