Penulis: Santi Apriani | Editor: Ratna MU Harahap

Observer punya kebiasaan memperhatikan dan menilik-nilik beragam bentuk muka, kulit, rambut, bahkan sampai bentuk tubuh beragam orang ga? Kalau saya sih iya dan menurut saya wajar sih, karena pada dasarnya setiap manusia dikaruniai rasa keingintahuan (kalau kata anak jaman sekarang namanya ‘kepo’ ) Kadar kekepoan yang membedakan antar manusia satu dengan manusia lainnya,ada yang kepo-nya biasa aja, standar, sampai dengan kepo maksimal. Mohon diperhatikan oleh Observer bahwa kadar kekepoan jangan sampai merugikan orang lain, baiknya ke-kepo-an kita lebih mengarah ke sesuatu yang bisa jadi manfaat atau menambah wawasan.

Atas dasar ke-kepo-an saya, kadang saya suka penasaran, di Indonesia yang memiliki suku dan ras yang sangat beragam, banyak tradisi yang dimiliki oleh masing-masing daerah. Bagaimana dengan di luar sana? Dan apakah ada tradisi yang cukup ekstrem di dunia ini? Dan ternyata ada lho dan bikin saya berdecak kagum atau ngeri?

1. Meletakkan piring pada bibir, Suku Mursi – Ethiopia

tradisi1

Bagi perempuan di Suku Mursi, semakin lebar bibir seseorang, akan terlihat semakin indah. Biasanya, mereka akan menggunakan piring yang terbuat dari tanah liat atau kayu berukuran 4 hingga 25 sentimeter.

Tradisi meregangkan bibir ini disebut ‘labret’ atau ‘lip plate’, di mana wanita di suku ini mulai memperbesar ukuran mulutnya pada usia yang amat belia yakni 13 hingga 16 tahun.

Caranya pasti sangat sakit, karena bagian bawah mulut diiris sepanjang 1 sampai 2 cm lalu dimasukkan piringan bulat ke dalam irisan luka tersebut. Setelah 2 atau 3 minggu, piringan tersebut diganti dengan ukuran yang lebih besar hingga mencapai diameter 10 sampai 15 cm bahkan ada yang hingga 25 cm.

tradisi2

Meski sangat menyakitkan, tradisi ini harus tetap dilakukan karena bagi wanita yang menolak tradisi tersebut akan mendapatkan sanksi sosial. Piring di mulut para wanita suku Mursi ini menandakan bahwa mereka memiliki daya tahan tubuh yang kuat, kedewasaan dan kecantikan.

2. Memanjangkan leher, Suku Karen – Thailand

tradisi3

Tradisi memanjangkan leher ini terjadi di Suku Karen yang berasal dari dataran tinggi Tibet. Sekarang, mereka menetap di Baan Tong Luang bersama tujuh suku lainnya di Thailand bagian utara. Ada pula yang menetap di daerah Pet Pan, Myanmar.

Wanita di Suku Karen percaya, semakin panjang lehernya akan membuat penampilannya makin cantik. Mereka menggunakan banyak cincin kuningan di lehernya, semakin panjang akan terlihat kian terpandang.

Sejak kecil, para perempuan sudah diberi cincin kuningan agar lehernya bisa panjang sempurna. Ekstremnya, semakin usia perempuan suku Karen bertambah, cincin di lehernya pun juga akan ditambah. Mereka juga pantang melepas tumpukan cincin ini saat sedang beraktivitas sekalipun. Cincin leher hanya akan dilepas saat mereka menikah, melahirkan, atau meninggal. Saat dibersihkan, cincin boleh dilepas, tetapi tidak boleh terlalu sering dan harus segera dipakai kembali. Sebenarnya, perempuan secara alami tidak memiliki leher yang ekstra panjang. Cincin kuningan berat yang dipakai perempuan suku Karen jadi semacam “tandu” leher.

tradisi4

Biasanya, mereka mulai memakai cincin leher panjang dari usia 5 atau 6 tahun. Awalnya dimulai dengan 5 buah cincin di leher, yang lantas ditambahkan 2 buah cincin peregangan dari tahun ke tahun. Tidak ada standar jumlah cincin leher maksimum yang bisa mereka pakai, tetapi umumnya hanya bisa mencapai 25 buah cincin. Di usia 15 tahun, para perempuan suku Kayan dapat memilih apakah mereka akan melanjutkan perpanjangan leher seumur hidup atau berhenti total. Ini karena setelah usia 15 tahun, tulang rusuk berpotensi rusak dan leher bisa jadi akan terlalu longgar menahan bebannya sendiri.

3. Gigi Runcing, Suku Mentawai – Indonesia dan Suku Bagobo – Filipina

tradisi5

Tradisi turun temurun ini merupakan cara bagi wanita Mentawai untuk tampil cantik dan sebagai tanda kedewasaan wanita suku Mentawai. Dalam melakukan tradisi ini, wanita Suku Mentawai harus menahan rasa sakit yang tidak sebentar. Gigi mereka akan dikerik atau diruncingkan dengan runcingan yang terbuat dari besi atau kayu yang sudah diasah hingga tajam. Tidak hanya satu gigi saja,melainkan semua (23) gigi mereka harus dikerik.

tradisi6

Selama proses berlangsung, wanita suku Mentawai tidak dibius seperti yang dilakukan oleh dokter gigi bila akan melakukan pencabutan gigi. Tradisi ini sebenarnya memiliki makna untuk mengendalikan diri dari enam sifat buruk manusia yang sudah tertanam sejak dulu, atau yang dikenal dengan nama Sad Ripu. Enam sifat buruk ini adalah hawa nafsu (Kama), tamak (Lobha), marah (Krodha), mabuk (Mada), irihati (Matsarya), dan bingung (Moha).

Penduduk suku Mentawai percaya bahwa wanita yang memiliki gigi runcing seperti hiu memiliki nilai lebih daripada yang tidak bergigi runcing. Hal ini kemudian membuat wanita Suku Mentawai melakukan tradisi tersebut meski harus menahan sakit yang luar biasa ketika proses peruncingan gigi.

tradisi7

Dan ternyata, tradisi ini juga dilakukan Wanita suku Bagobo, Filipina. Disana juga meyakini bahwa wanita harus memiliki gigi runcing agar terlihat tambah cantik.

4. Telinga Panjang, Suku Dayak – Indonesia

tradisi8

Suku Dayak di Kalimantan akan menyebut wanita cantik jika memiliki telinga panjang. Telinga panjang yang menjuntai hingga ke leher. Tradisi menindik telinga bagi para wanita suku ini dilakukan dengan cara menggunakan anting logam atau emas yang jumlahnya terus menerus di tambah hingga membuat telinganya memanjang.

Penambahan anting ini dilakukan tiap satu tahun sekali, untuk mengetahui berapa usia wanita suku dayak, cukup dengan menghitung berapa banyak anting yang menghiasi telinganya.

tradisi9

Memiliki telinga panjang bagi mereka selain menunjukan identitas dan usia, juga sebagai lambang bahwa mereka adalah keturunan bangsawan serta untuk membedakan dengan wanita yang dijadikan budak karena kalah perang atau tidak mampu membayar utang dan kecantikan. Strata social mereka akan semakin terangkat seiring banyaknya emas dan panjangnya telinga mereka.

5. Menutup Hidung, Suku Apatani– India

tradisi10

Suku Apatani hidup di Ziro Valley, sebuah desa kecil di Arunachal Pradesh, India. Wanita di sana identik dengan tato lima garis di dagu dan melubangi hidungnya, lalu ditutup dengan penyumbat hidung.

Penyumbat hidung ini disebut Tippei. Berukuran lebih besar dari hidung, tapi pas menyumbat lubangnya. Terbuat dari gumpalan tinta hitam yang dicampur lemak babi dan butiran arang yang halus, Tippei, dipakai para perempuan setiap harinya.

tradisi11

Awalnya, kecantikan yang luar biasa dari perempuan suku ini diterima sebagai anugerah. Tapi saking memesonanya, banyak huru-hara karena mereka sering diculik suku tetangga dan dijadikan istri. Sejak saat itulah, perempuan suku ini memilih menato wajah mereka, sekaligus menutup hidung mereka sejak belia, agar kecantikan itu memudar, sehingga mereka tidak dilirik para pria dari suku lain. Meski sudah berkurang, masih ada Suku Apatani yang menjaga tradisi ini sejak 1970.

6. Lotus Feet – Tiongkok

tradisi12

Zaman dahulu, di Tiongkok, jutaan wanita menginginkan sepasang “kaki lotus” yang berukuran tidak lebih dari empat inci. Agar memiliki kaki yang diimpikan ini, para wanita rela mengikat dan menekuk kakinya sejak masihkecil.

Proses mengikat kaki ini biasanya dilakukan anak-anak perempuan berusia empat hingga enam tahun. Selain karena otot-ototnya masih lentur sehingga kaki mudah dibentuk, mereka juga dianggap bisa mengatasi rasa sakit saat proses dilakukan.

Dilansir dari DailyMail, ada beberapa alas an mengapa tradisi ini disebut kaki lotus. Salah satunya karena kaki mereka harus terikat sempurna untuk membentuk bunga lotus yang tertutup.

Untuk membentuk Lotus Feet, kaki sang anak harus direndam dengan air hangat. Kemudian jari-jari mereka – kecuali jempol – akan ditekuk ke bawah telapak kaki. Kain sutera atau katun digunakan untuk membungkus kaki mereka hingga dewasa.

Perlu diketahui bahwa setelah diikat dengan kain, tidak ada orang lain yang boleh melihat kaki perempuan tersebut selain suaminya kelak.

Simbol kesetiaan

Dengan kaki yang terikat, para wanita akan mengalami kesulitan saat berjalan. Oleh sebab itu, untuk memudahkannya bergerak, para wanita akan menggunakan otot di pinggul, paha dan bokong mereka. Ini membuat fisik mereka tampak menarik bagi pria Tiongkok di zaman itu.

tradisi13

Kaki lotus dianggap sebagai lambang kesetiaan sang wanita kepada suaminya. Wanita dengan kaki kecil membuktikan bahwa mereka berasal dari keluarga yang baik dan tidak akan selingkuh atau melarikan diri dari sang suami.

Seiring perkembangan zaman, sekarang ini tradisi Lotus Feet sudah ditinggalkan dan menjadi tradisi masa lalu masyarakat Tiongkok.

Bagaimana menurut Observer? Apakah tradisi-tradisi tersebut membuat Observer kagum atau ngeri?

 Source &Refrence:

  1. IDN Times
  2. Kompas.com
  3. Youtube
  4. Liputan 6
  5. National Geographic
  6. Kumparan
  7. Zona utara
  8. Tribunnews
About Author

administrator

Property Observer adalah portal yang memberi informasi secara up to date dan informatif, baik dalam segi lifestyle , bisnis, dan segala jenis aspek kebutuhan. Namun dari semua itu ada satu aspek yang sangat di butuhkan oleh manusia yaitu property.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *