Penulis: Dian Prima | Editor: Ratna MU Harahap

Masa Kecil1

Tadi sore saya sempat uring-uringan, karena mendadak muncul kenangan masa kecil di ingatan ini. Padahal, butuh tahunan untuk memulihkannya.

Adakah di antara Anda yang masih sering teringat kejadian jaman kecil? Bisa jadi Anda yang menjadi korban kenakalan teman. Atau, Anda yang senang mengganggu teman tanpa sebab. Seperti ada kepuasan tersendiri ketika melihat ekspresi sebal dari teman kita. Risiko kena marah guru. Tak jadi soal. Yang penting, puas!

Awalnya saya berpikir ini hanya menimpa diri saya sendiri, ternyata ketika ngobrol dengan banyak teman, banyak juga yang bernasib sama. Tanpa bermaksud mengada-ada, seiring bertambahnya usia, kita semakin dihadirkan dengan kenangan masa kecil.  Kabarnya, kenangan tersebut dihadirkan kembali dengan dua tujuan, yaitu untuk dikenang atau dipulihkan. Bukan dilupakan. Nah, lho!  Kita sengaja diingatkan untuk “menyelesaikan” masa lalu tersebut. Kabar lainnya yang kurang mengenakkan adalah, apabila tidak diselesaikan dan dibiarkan menumpuk, akan menjadi trauma berkepanjangan yang konon bisa jadi penyakit. Aduh, kalau begitu saya memilih untuk memulihkannya sesegera mungkin. Jadi ketahuan, nih, jaman kecilnya suka “kreatif” –  pilih istilah yang terdengar dan terkesan positif.

Masa Kecil2

Saya Tidak Percaya Trauma

Antara percaya atau tidak, seringkali saya berpikir kalau trauma itu hanya ciptaan dari pikiran kita sendiri yang terlalu berlebihan. Dari definisi yang saya peroleh melalui mbah Google, trauma adalah respon emosi seseorang akibat pengalaman yang tidak menyenangkan. Sementara itu, respon tiap orang pasti berbeda-beda dan belum tentu emosional. Kalau orangnya tidak responsif, bisa saja dia tidak punya trauma. Mungkin ini bisa dibahas lain waktu bersama pakarnya.

Trauma setiap orang sangat beragam, mulai dari yang terdengar remeh sampai yang memang “menakutkan”. Ketika mengetahui trauma seseorang, kadang mengundang tawa. Tapi, nggak jadi ketawa, karena nanti dibilang jahat dan tidak punya empati.

Sekilas teringat cerita Riana – temannya teman yang kemudian menjadi teman baik saya.  Dia pernah cerita kalau trauma terbesarnya adalah social judgement atau penilaian sosial. Adanya ketakutan yang berlebih apabila melakukan kesalahan. Dan kesalahan itu adalah benar-benar salah. Bukan sebuah kesalahan yang merupakan sebuah pembelajaran, yang kemudian bisa diperbaiki di lain hari.

Nah, pasti ada penyebabnya, kan? Sekali saya mencoba memaksa Riana untuk bercerita. Dari rautnya, terlihat dia ingin menghindar.

“Jujur, saya sudah tidak mau mengingat kembali,” katanya sambil membuang muka.

Kemudian saya hanya bisa – dengan sok tahu – menasihatinya, “Meskipun demikian, coba rengkuh dan peluk rasa trauma itu sambil ucapkan maaf dan terima kasih, Na.”

Tak tahu pasti, dia akan menuruti saran tersebut atau tidak, tapi saya yakin kalau nanti ada waktunya sendiri yang membuat Riana lebih bisa nrimo (istilah orang Jawa untuk menerima dengan ikhlas), untuk memulihkan ini semua. Ya, luka masa lalu itu untuk disembuhkan, bukan untuk dilupakan.

Usai memberikan saran ke Riana. Kembali luka batin jaman kecil saya sedikit tercolek. Ada tuntutan dari orang tua untuk harus selalu sempurna. Bahkan ada sebuah masa saya tidak bisa diminta untuk memilih.

“Kalau menyuruh saya yang milih, ya berarti ambil semuanya,” begitu selalu ucapanku. Padahal yang sesungguhnya terjadi, karena saya takut salah mengambil keputusan. Syukurlah, perlahan tapi pasti saya berusaha keras untuk belajar memilih tanpa takut salah. Walau di awal pembelajaran sempat bikin tangan dan kaki gemetar, keringat dingin, mondar-mandir kamar kecil. Hingga akhirnya saya bisa berkata, saya tidak percaya trauma.

Masa Kecil3

Lucunya Masa Lalu

Belakangan saya sering mendengar istilah inner child. Awalnya sempat berpikir, “Kenapa, ya, sudah setua ini masih diajak mikirin jaman kecil?”

Tapi ada benarnya, ya. Kalau ngobrol dengan orangtua kita, seringnya yang diceritakan adalah masa muda mereka. Bisa jadi dengan nada riang, kesal, atau marah. Sekilas terasa sisa emosi di nada kalimatnya.

Kisah yang pernah dirasakan di masa lampau ada yang menyenangkan, tak sedikit pula yang menyebalkan. Yang bikin senyum terus, biasanya enggan untuk ditepis. Sebaliknya, yang bikin dahi berkerut, tak ingin diingat. Tapi, uniknya, yang menyebalkan justru yang sering kembali datang menghampiri.

Membahas masa kecil sering dikaitkan dengan inner child trauma. Apakah yang dimaksud dengan inner child? Inner child adalah bagian dari diri kita di masa kecil yang tidak ikut tumbuh dewasa dan lebih memilih bersembunyi di dalam diri kita. Jadi, inner child trauma adalah  kenangan masa lalu yang masih mengganjal. Untuk mengatasinya, setelah menyadari hadirnya, tak ada salahnya untuk diterima dan segera minta bimbingan dari sang ahli untuk dipulihkan.

Sambil menemani ibu saya ke supermarket, saya menyimak ceritanya di jaman remaja. Sesekali gelak tawa saya pecah, karena visual diperkuat oleh kenangan akting dari para maestro perfilman di tahun 60-an. Ada yang masih ingat nama-nama mereka? Saya bantu kasih sedikit, ya. S. Bagio, Sofia Waldy, Bambang Hermanto,… Bagaimana, ingat? Kalau  terlalu sulit diingat, mari lanjut ke cerita ibu saya tadi. Di setiap penggal kalimat cerita beliau, saya bisa merasakan mana yang paling berkesan dan mana yang ‘ah sudah’ah’. Tak sedikit nama yang beliau sebut, spontan memercikkan binar yang berbeda di matanya. Ah, terlalu gemas.

Membiarkan orang tua kita bertutur tentang masa mudanya, ternyata tips jitu untuk meningkatkan semangat hidup dan kesehatan fisik mereka. Jadi, sebaiknya kita jangan bosan menemani dan mendengarkan para orang tua mengadakan sesi flashback, ya.

About Author

administrator

Property Observer adalah portal yang memberi informasi secara up to date dan informatif, baik dalam segi lifestyle , bisnis, dan segala jenis aspek kebutuhan. Namun dari semua itu ada satu aspek yang sangat di butuhkan oleh manusia yaitu property.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *